Dokter, itulah cita-citaku sejak aku duduk di bangku SD. Usaha demi usaha, aku lakukan untuk menggapainya. Impianku semakin tinggi...
Dokter, itulah cita-citaku sejak aku duduk di
bangku SD. Usaha demi usaha, aku lakukan untuk menggapainya. Impianku semakin
tinggi ketika aku mulai merajut ke tingkat SMP dan masuk ke ekstrakulikuler PMR
(Palang Merah Remaja). Sungguh aku benar-benar merasa impianku itu telah berada
di depan mata, apalagi ketika nilai kelulusanku telah aku terima.
“Wah, sungguh mujur nasibmu Ra! Usahamu telah
membuahkan hasil yang memuaskan,” ujar sahabatku Siska ketika melihat ijazahku.
“Ya! Tak lama lagi, kita akan melihat sahabat
kita ini menjadi seorang Dokter Aura yang terkenal!” teriak sahabatku Auliya,
menambah semangat dan kebahagiaanku.
“Terima kasih teman-teman, ini semua berkat
kalian yang tak pernah capek memberiku semangat,” jawabku kepada mereka.
Hari demi hari telah berlalu. Semua anak telah
menentukan pilihan untuk sekolah lanjutan mereka, tetapi tidak denganku. Rasa
bimbang terus menghantuiku. Aku tidak tahu kemanakah aku akan melangkah.
Akhir-akhir ini, hatiku berada di posisi yang tak menentu. Apalagi, ketika
gejolak hati kecilku tiba-tiba berbisik, “Aura…bukan inilah jalan yang Allah
tentukan untukmu.” Seakan-akan langkahku telah salah. “Ya Tuhan! Apakah maksud
semua ini?”
…
“Aura, kenapa engkau? Sampai
sekarang,kau belum daftar ke sekolah manapun!” tanya Auliya keheranan.
“Biasanya kaulah orang pertama yang
akan mendaftar ke sekolah favorit karena semangat dalam menggapai cita-citamu
itu. Tapi, apa yang terjadi sekarang?” ujar Siska menambah.
Tak hanya mereka yang bertanya-tanya
seperti itu, bahkan kedua orang tuaku dan keluarga besarku pun tak henti bertanya.
Dengan berat hati, aku hanya bisa menjawab, “Tak ada apa-apa, aku hanya
memikirkan tentang hal itu. Karena aku tak ingin salah melangkah, yang akan
berakhir pada penyesalan.”
Seminggu lagi pendaftaran akan ditutup,
tetapi aku masih belum menemukan jawaban. Rasa bimbang masih bergelojak. Tak
pernah aku merasakan gejolak seperti ini. Seolah Aura yang selalu cepat dalam
mengambil keputusan telah berubah.
…
“Ya Allah, mimpi itu lagi…” sentakku
terbangun dari tidur. Aku tidak tahu mengapa mimpi itu menghantuiku. Seolah ada
pesan tersembunyi yang tak ku mengerti isinya.
“Cukup Aura, cukup! Kau tidak bisa
terus seperti ini. Cita-citamu ada di depan mata. Akankah kau menghancurkannya
hanya karena dihantui rasa bimbang ini?!” teriakku pada diriku sendiri. Aku
mulai bangkit, tak ku pedulikan kebimbangan itu. Aku pun mengambil laptopku
untuk mencari tahu tentang info sekolah favorit, sebelum aku terlambat dan tak
bisa melanjutkan sekolah tahun ini.
Halaman demi halaman telah aku buka.
Namun, tak tahu mengapa tiba-tiba terbuka halaman yang sebenarnya tak ku cari.
Ingin aku keluar dari halaman tersebut, tetapi rasa penasaran memaksaku untuk
membacanya. Ternyata itu adalah halaman yang menjelaskan tentang pesantren yang
lengkap dengan pendidikan-pendidikan akademik.
Terkejut bukan main ketika mataku
tiba-tiba mengarah pada kalendar yang menunjukkan tanggal 9 Agustus. “Berarti,
besok adalah hari terakhir pendaftaran,” bisik hati kecilku. Aku pun langsung
mencari fotocopy ijazahku dan berangkat untuk mendaftarkan diri di beberapa
sekolah favorit. Tetapi, apa dayaku? Semuanya telah terlambat, pendaftaran
telah penuh. Bahkan, nilaiku yang tinggi tidak bisa membantu.
Sungguh hanya nangis yang ingin ku
lakukan saat ini, tetapi bagaimanapun ini semua adalah salahku sendiri. Jadi
apa gunanya aku menangis? Aku telah putus semangat untuk melanjutkan sekolah
tahun ini. Aku benar-benar tak tertarik untuk melanjutkan ke sekolah-sekolah bawahan.,
karena nantinya pasti ijazahku susah masuk universitas.
Melihat keadaanku yang terpukul,
ayahku pun mencoba untuk mengembalikan semangatku. “Janganlah kau putus asa
dengan semus ini Aura. Percayalah, setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Hmm…bagaimana
kalau tahun ini, kau melanjutkan sekolahmu di pesantren? Sejak lama, ayah
mengharapkan hal tersebut.”
Memoriku seolah mengingatkanku
kepada sebuah pesantren yang ku lihat di internet tadi. Mengapa sepertinya
hatiku tertarik dengan penawaran ayah?
“Pesantren? Kenapa ayah tidak pernah
membicarakan hal tersebut padaku?” aku menjawab.
Dengan senyuman tulus, ia menjawab, ”Karena
menurut ayah, membiarkanmu untuk menentukan masa depanmu sendiri itu lebih baik
daripada memaksamu mengikuti kehendak ayahmu.”
“Tapi ayah, akankah ada pesantren
yang masih menerima pendaftaran?” tanyaku.
“Jika kau tertarik, ayah akan
mengusahakan untuk mencari yang terbaik untukmu. Tapi tetap, kau harus
memikirkanya terlebih dahulu,” tuturnya dengan lembut.
Aku pun mulai memikirkan tawaran
ayahku. Semakinku memikirnya, semakin bertambah keyakinanku. Aku pun
menyampaikan keputusanku kepada ayahku. Dan ternyata, ia telah menemukan
pesantren yang cocok untukku.
Semua telah disepakati. Akhirnya, aku
berpamitan dengan semua keluargaku dan teman-temanku. Tampaknya, kebanyakan
dari mereka menganggapku salah dalam mengambil keputusan. Tapi, aku tetap yakin
dengan suara hatiku sendiri.
Akhirnya, tiba waktu keberangkatanku
ke pesantren. Keluarga besarku turut mengantarkanku seolah ingin memastikan
bahwa aku takkan menyesal.
…
“Ayah, apakah pesantrenku ini berada di
pedalaman?” tanyaku keheranan ketika melihat bangunan-bangunan tinggi telah
menghilang dari hadapanku.
“Percayalah pada ayah, bahwa keadaan di
pesantrenmu ini begitu menyenangkan dengan pemandangan yang indah dan
menyejukkan mata,” hibur ayahku untuk menghilangkan keraguanku. Aku sedikit
bingung, tapi aku percaya bahwa ayah pasti menyiapkan yang terbaik.
Terkejut bukan main ketika aku melihat ternyata
pesantrenku tak bertetangga kecuali dengan kebun-kebun dan villa-villa yang
jarang berpenghuni. Melihat perubahan ekspresiku, semua membujuk ayahku untuk
membatalkan rencana ini.
“Ahmad! Apakah kau serius membiarkan Aura
tinggal di tempat seperti ini?” Jelas pamanku meyakinkan ayahku yang menurutnya
pendapat ayahku itu salah.
“Aku rasa Aura lebih baik di sini dan akan
lebih faham mendalam tentang agama ini. Toh, aku tak pernah memaksanya. Ini
semua atas persetujuan.”
Aku pun mulai melanjutkan langkah menuju
pesantrenku. Pertama kali melihat bangunan itu, mataku pun terperanjat. Seolah
aku pernah melihat bangunan itu sebelumnya. Aku ingat, ini adalah bangunan yang
selalu menghantui mimpiku. Mungkin inilah pesan rahasia yang ingin Allah
sampaikan untukku.
Mulai aku mengisi kertas pendaftaran. Tapi aku
sedikit terheran, sepertinya tak ada tanda-tanda bahwa pesantren ini terdapat
pelajaran akademiknya.
“Maaf kak, apakah di pesantren ini tidak ada
sekolah umumnya?” tanyaku memastikan.
“Tidak ada, karena di tempat seperti ini susah untuk
menyediakan sekolah yang kamu maksudkan,” jawabnya menjelaskan.
“Bentar ya kak.” Aku pun memutuskan untuk
bertanya kepada ayahku.
“Ayah, apakah ayah tau bahwa pesantren ini
tidak ada pelajaran akademiknya?” tanyaku kecewa.
“Memang tidak ada Aura. Bukannya ayah tak
pernah bilang bahwa di pesantren ini juga terdapat sekolah,” jawab ayahku
singkat.
“Tapi, ketika aku melihat di internet,
pesantren ini lengkap dengan akademiknya dan aku berfikir ayah faham
keinginanku. Sekarang, maknanya aku tak bisa melanjutkan cita-citaku lagi,”
tuturku sedih.
“Maafkan ayah Aura.ayah memang tak tau
maksudmu. Tapi ayah berfikir inilah pesantren terbaik untukmu. Baikah, jika
engkau tak suka, kita tak akan meneruskan pendaftarannya. Ayah tak akan
memaksamu,” jelas ayahku dengan wajah sedikit kecewa.
Aku pun terdiam sejenak. “Tapi Aura, ini adalah
pesan rahasia dari Allah yang tak mungkin ada keburukan di dalamnya,” lagi-lagi
hatiku berbisik seolah memaksaku untuk tetap berada di sini. Akhirnya pun, aku
memutuskan untuk meneruskan pendaftaran tersebut, walaupun keluargaku yang
melihat kekecewaan pada wajahku membujukku berhenti.
Langkah mereka pun pergi menjauh dariku. Tak
terlihat lagi lambaian perpisahan dari mereka. Aku benar-benar berada di
pesantren ini seorang diri, di tempat di mana aku tak pernah menyangka bahkan
berfikir akan berada di sini. Semoga inilah jalan yang terbaik bagiku.
…
Hari demi hari ku lalui, tetapi aku masih belum
bisa beradaptasi di sini. Pelajaran di sini aku rasa lebih berat dari
pelajaran-pelajaran yang sebelumnya pernah aku pelajari. Banyak pemahaman baru
yang aku dapat di sini. Semua orang mengolok ketidaktahuanku, seolah aku orang
yang paling tidak tahu apa-apa di sini. Beberapa orang mendekatiku, tapi
ternyata hanya untuk mengorek kabar tentang siapa diriku dan menceritakannya
kepada semua orang.
Aku merasa tidak ada teman baik di sini. Semua
orang mendekatiku hanya untuk menjawab rasa penasaran mereka. Lalu pergi
meninggalkanku. Rasa sedih pun kini menghantuiku. Sepertinya, aku menyesal
berada di sini. Benar kata ayah, pemandangan di sini sangat indah, tapi tidak
dengan keadaannya.
…
Dua bulan telah aku lalui, ayah dan ibuku pun
menjengukku. Aku menangis sejadi-jadinya melihat mereka. Aku menceritakan semua
deritaku kepada mereka, tapi ayahku beranggapan aku berlebihan dengan semuanya.
Ia pun menasehatiku, “Aura, di setiap tempat
pasti ada namanya cobaan. Bahkan orang yang tak diberi cobaan berarti tidak
dipedulikan Allah. Ayah yakin,jika kau benar-benar dalam menuntut ilmumu, kau
akan gapai cita-citamu sebagai dokter. Meski bukan dokter yang bekerja di rumah
sakit, tapi dokter bagi hati-hati yang mati jauh lebih bermanfaat.”
…
Aku pun naik ke loteng pesantrenku untuk
meluapkan semua kesedihanku. Tiba-tiba, datang kakak kelasku mendekatiku. Aku
berpaling darinya, tak menjawab semua pertanyaannya. Aku benar-benar tak
percaya lagi dengan anak-anak di sini seolah semua telah mengkhianatiku.
Aku pun turun meninggalkannya. Namun, kakak
kelasku tak menyerah. Di waktu murojaah ia mendatangiku dan menanyaiku hal yang
sama, tapi tetap aku meniggalkannya. Tanpa mengenal kata menyerah, ia terus
mendatangiku.
“Aku bosan di pesantren ini! Semua orang tak
mempunyai keramahan, seakan ketidaktahuanku adalah aib besar buat mereka,”
jelasku kepadanya karena bosan dengan pertanyaannya. Ia pun menasehatiku dengan
ribuan nasehat yang kekuatannya sungguh luar biasa. Seakan mampu memecahkan
kesumpekanku dan meluluhkan hatiku yang sekeras batu. Nasehatnya sungguh telah
berhasil menumbuhkan semangatku yang telah terkubur dalam.
Salah satu nasehatnya yang selalu kuingat
adalah, “Ingatlah Aura, bahwasanya semua manusia takkan luput dari yang namanya
cobaan. Bahkan, tak terkecuali seorang Nabi dan Rasul, segala fitnah pun
menimpa mereka. Tapi, tak jarang orang menjadi lemah dengan semua cobaannya.
Sehingga mereka tak menyadari bahwa cobaan adalah tanda cinta Allah bagi kita
dan akan mengangkat derajat orang yang mampu melaluinya dengan berserah
pada-Nya. Jika kau menyerah dan lemah dengan ini semua, berarti kau termasuk
orang-orang yang rugi.”
…
Semenjak kejadian itu, kami pun mejadi teman
baik. Ia selalu mengingatkanku akan kebaikan seperti, membangunkanku untuk bertahajud
sebelum semua orang terbangun, mengajakku sholat rawatib, puasa Senin dan
Kamis, dan berbagai kebaikan yang lain.
Ya Allah, terima kasih! Engkau telah
menghadirkan bagiku teman yang selalu mengingatkanku akan kebaikan dan
mengajarkanku untuk selalu mendengar suara hati yang sebenarnya dari Engkau sendiri.
Sungguh hal itu sangat bermanfaat bagiku bahkan ketika ia telah lulus dan
keluar dari pesantren ini.
…
Tahun-tahun telah berlalu. Namun semangatku
menuntut ilmu tak akan pernah sirna. Selama hidupku di sini,aku mendapat ribuan
pelajaran untuk menghadapi ribuan rintangan. Walau bertubi-tubi cobaan
menghunusku, suara hatiku tetap bersamaku untuk menyemangatiku untuk melalui
semuanya. Hingga semuanya mengantarkanku ke depan pintu gerbang kelulusan
dengan kebanggan yang memuaskan.
Banyak orang yang datang padaku untuk mendengar
nasehat-nasehatku. Bahkan, orang-orang yang dulu tak setuju dengan jalanku ini,
termasuk teman baikku Siska dan Auliya.
“Benarkan Sis perkataanku! Kita akan mendengar
bahwa sahabat kita ini benar-benar akan menjadi seorang dokter yang terkenal,”
ujar sahabatku Auliya memujiku.
“Benar! Walaupun ia bukan seorang dokter berjas
putih dengan alat-alat kedokterannya. Tapi dia telah menjadi dokter bagi
hati-hati yang telah mati dan lalai. Dan sebenarnya, itu lebih dibutuhkan di
dunia ini,” sahut Siska menambah. Aku hanya menyambut pujian mereka dengan
senyuman.
Semua keluargaku, ayah dan ibuku pun bangga
padaku, bahkan mereka berkata Allah dan Rasul-Nya juga bangga padaku. Dan
bagiku, itu cukup untuk membuatku bahagia.
Amirah Ahmad